Kamis, 18 Desember 2008

BANDA ACEH : PUSAT OBJEK WISATA MADE IN TSUNAMI

Pendahuluan

Musibah gempa disusul tsunami, ternyata telah menjadi pusat perhatian umat manusia di seluruh dunia. Mereka datang ke Aceh adakalanya dalam rangka memberi bantuan, penelitian maupun untuk menyaksikan dampak yang ditimbulkan oleh gempa dan tsunami.

Untuk itu perlu kiranya kawasan tertentu yang dilanda tsunami dipertahankan dan dikelola menjadi kawasan objek wisata ala tsunami, suatu objek wisata yang sangat menarik dan mampu menyedok wisatawan berkunjung ke Aceh.

Banda Aceh yang Kaya Objek Wisata

Aceh adalah salah satu nama provinsi di Indonesia terletak di ujung pulau Sumatera, yang kini bernama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh juga salah satu nama suku bangsa di Indonesia. Pada zaman kesultanan Aceh, yang dinamakan Aceh adalah yang sekarang bernama Banda Aceh dan Aceh Rayeuk/Besar. Terkenal dengan nama Aceh lhe sagoe (Aceh tiga segi) atau Aceh proper (Aceh inti). Sedangkan di luar itu disebut daerah taklukan.

Pada mulanya Aceh terdiri atas kerajaan besar dan kecil, seperti kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara, Perlak, Lamuri, Tamiang, Daya, dan sebagainya. Pada abad ke-16, kerajaan-kerajaan tersebut disatukan oleh Sultan Ali Mughayatsyah menjadi satu kerajaan besar bernama Kesultanan Aceh Darussalam dengan ibukota Bandar Aceh Darussalam.

Pada tahun 1873, Aceh memasuki periode penjajahan Belanda, dengan “dikuasai” Dalam (istana) sultan tanggal 24 Januari 1874, melalui ekspedisi kedua tanggal 9 Desember 1873.

Penjajahan Belanda berakhir hingga Belanda angkat kaki dari Aceh tahun 1942, berganti dengan penjajahan dari negeri Sakura hingga tahun 1945.

Sebagai sebuah kota tua dan pusat pemerintahan semenjak zaman kesultanan, Banda Aceh tentu banyak peninggalan sejarah yang dapat dijadikan objek wisata.

Peninggalan sejarah yang dapat dijadikan objek wisata di Banda Aceh, di antaranya Gunongan (peninggalan zaman Sultan Iskandar Muda 1607-1636), Makam Syiah Kuala (Teungku Syiah Kuala panggilan populer Syaikh Abdurrauf al-Singkili, salah seorang ulama sangat populer pada zaman kesultanan Aceh. Ulama kelahiran Singkil dan lama belajar ilmu agama di Arab. Pada masa pemerintahan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675), ia dipercaya menjadi mufti dan kadi malikul adil Kesultanan Aceh Darussalam. Ia meninggal pada tahun 1695 dan dimakamkan di dekat muara sungai Aceh). Mesjid Teungku Dianjong di Peulanggahan, Banda Aceh. Mesjid Raya Baiturrahman, mesjid yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1879 karena sebelumnya terbakar ketika Belanda menyerbu Aceh. Mesjid Baiturrahim Ulee Lheue, sebuah mesjid yang dibangun pada akhir abad ke-19. Mesjid itu sangat populer ketika gempa disusul tsunami melanda Aceh karena termasuk salah satu bangunan yang selamat dari hantaman gelombang raksasa padahal letak mesjid tersebut di tepi pantai.

Pendopo Gubernur, Pemerintah Hindia Belanda membangun sebuah tempat kediaman kepala pemerintahan Belanda di Aceh pada tahun 1888. Setelah berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Aceh, tempat itu dipergunakan oleh kepala pemerintahan pendudukan Jepang di Aceh. Semenjak pemerintahan RI, menjadi tempat kediaman resmi gubernur atau sekarang lebih dikenal dengan Pendopo Gubernur.

Kawasan wisata pantai Ulee Lheue, suatu kawasan pantai yang sangat indah dan penuh dengan kenangan sejarah. Ketika Belanda melakukan ekspedisi pertama ke Aceh pada tahun 1873 dilakukan melalui Pante Ceureumen, Ulee Lheue. Untuk kelancaran operasi militer di Aceh, Belanda membangun dermaga di Ulee Lheue sebagai pintu gerbang ke Aceh pada tahun 1874 dan selesai pembangunannya pada tahun 1875. Untuk menghubungkan Ulee Lheue ke Banda Aceh dibangun pula jalan kereta api dengan stasiunnya di sekitar depan Mesjid Raya Baiturrahman sekarang. Selain itu, Belanda juga membangun sebuah mesjid di Ulee Lheue yaitu Mesjid Baiturrahim pada akhir abad ke-19. Pada zaman Pemerintah Hindia Belanda dan kawasan bebas Sabang, Ulee Lheue suatu kawasan yang ramai dengan berbagai aktivitas sosial-ekonomi. Di Ulee Lheue dahulu terdapat sebuah hotel terkenal milik Kugelman dari Jerman. Demikian juga dengan toko-toko milik orang Yunani sangat megah di Ulee Lheue. Dan berbagai peninggalan sejarah lain yang ada di Banda Aceh.

Wisata Tsunami di Banda Aceh

Pascatsunami, Aceh sangat banyak dikunjungi oleh umat manusia, baik lokal maupun mancanegara. Orang-orang dari belbagai pelosok Indonesia, Asia hingga Eropa berduyun-duyun menziarahi bumi Serambi Mekah untuk menyaksikan secara langsung dampak yang ditimbulkan akibat tsunami. Setiap hari mereka terlihat berkeliling di wilayah yang hancur akibat terjangan tsunami.

Akibat yang ditumbulkan oleh tsunami, memang sangat dahsyat, sejumlah kawasan yang sebelumnya padat perumahan dan pertokoan kini hancur berkeping. Ada bangunan yang lepas dari pondasinya, bangunan yang hanya tinggal secuil, tanpa atap, tinggal kamar mandi, lantai dua turun menjadi lantai pertama, bangunan yang dindingnya bolong, dan adapula yang tanpa bekas. Pemandangan sepanjang jalan menuju Ulee Lheue, Lampulo, Lhoknga, Krueng Raya, misalnya, membuat orang tercengang. Manusia semakin akan tercengang ketika menyaksikan suatu keajaiban, yaitu sejumlah mesjid yang terletak dekat pantai banyak tersisa dan berdiri kokoh seakan menajadi saksi bisu atas semua peristiwa yang terjadi. Bisa jadi semacam pesan dari Allah bahwa semua harta dan jiwa dapat saja hancur, namun iman tidak boleh hancur dan kembalilah ke mesjid untuk sujud kepada Tuhanmu.

Mesjid Baiturrahim di Ulee Lheue, Banda Aceh, salah satu mesjid yang selamat dari hantaman tsunami 26 Desember 2004. Mesjid ini dibangun pada zaman Pemerintah Hindia Belanda, akhir abad ke-19.

Mobil-mobil peot dan hancur lebur berserakan di sepanjang jalan. Sebagian mobil bahkan tidak jelas lagi bentuknya, ibarat baru saja lepas dari cengkraman raksasa. Kenderaan roda dua terlepas bodi dan kepala/topengnya, sehingga menjadi

pemandangan tersendiri dan menjadi ciri khas motor made in tsunami. Boat dan kapal nelayan nyangkut di sembarang tempat, seperti di atas rumah penduduk, di atas jalan, hotel, toko, dan sebagainya. Adapula kapal tongkang ukuran besar terdampar di tengah jalan raya arah menuju Calang, belum lagi kapal PLTD Apung yang beratnya ribuan ton terdampar ke permukiman penduduk di Punge Blang Cut, Banda Aceh.

Pada satu sisi, keaslian pemandangan Aceh pascatsunami perlu dijaga dan dipelihara. Pemandangan itu menjadi saksi sejarah untuk generasi berikutnya bahwa di Aceh pernah terjadi peristiwa akbar, selain dapat menarik minat wisatawan berkunjung ke Aceh.

Pemandangan Aceh pascatsunami dapat membuat manusia tercengang dan merenung. Semua orang yang menyaksikan objek wisata made in tsunami akan berucap Allahuakbar, masya-Allah, subhanallah, luar biasa, atau kata-kata takjub lainnya. Namun sangat disayangkan, beberapa pemandangan menakjubkan itu telah dirubah oleh tangan manusia, sehingga daya tariknya pun menjadi berkurang. Ada rongsongan dijual ke penampung, adapula para pemiliknya langsung melakukan pelelangan. Seharusnya pemerintah harus secepatnya mengantisipasi supaya Aceh dapat dijadikan kawasan wisata made in tsunami yang diyakini mampu menarik wisatawan datang ke Aceh.

Salah satu sudut Kota Banda Aceh yang terkena tsunami. Tampak boat nelayan nyangkut di depan Hotel Medan, Peunayong, Banda Aceh.

Manusia yang belum berkesempatan menyaksikan pemandangan Aceh pascatsunami tentu berharap pada suatu saat dapat berkunjung untuk menyaksikan secara langsung dampak tsunami. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita menjaga keaslian kawasan bekas tsunami, yang dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan berkunjung ke Aceh. Aceh punya potensi menjadi kota berpengaruh di dunia, baik bagi wisatawan maupun ilmuan.

Sejumlah hamba Allah yang selamat dari amukan tsunami terpaksa hidup di lokasi pengungsian. Karena tempat tinggal mereka hilang dan hancur berantakan. Tenda-tenda dan barak-barak pengungsian terdapat di mana-mana, menjadi pemandangan yang sangat menarik untuk dikunjungi.

Sejumlah negara di bawah koordinasi PBB mengirim bantuan dan relawan ke Aceh, demi misi penyelamatan anak manusia. Sejumlah kapal besar berbendera asing stand by di perairan Aceh. Kapal induk sekaliber Abraham Lincoln merapat di perairan Aceh. Kapal rumah sakit yang sangat mewah kini merawat fakir miskin di Aceh, rumah sakit lapangan dari berbagai negara menghiasai bumi Serambi Mekah. Demikian juga halnya dengan berbagai alat penyaringan air bersih terdapat di setiap sudut Kota Banda Aceh.

Ribuan kenderaan dengan belbagai plat dan merek dari berbagai negara tampak lalu lalang dan menjadi pusat perhatian sehari-hari. Ribuan manusia dengan berbagai bentuk dan bahasa mondar-mandir saban hari.

Penutup

Gempa disusul gelombang raksasa, memang telah menghancurluluhkan bangunan rumah dan berbagai sarana dan prasarana. Musibah juga telah membuat orang kehilangan keluarga dan teman sejawat. Tetapi, itu sebagai sebuah ujian sekaligus peringatan untuk diambil pelajaran. Dibalik musibah itu banyak mengandung hikmah, di antaranya potensi wisata yang sangat menakjubkan.

Potensi swisata mungkin salah satu hikmah di balik tsunami, selain sebagai bukti kekuasaan Allah untuk dapat diambil pelajaran menuju masa depan yang lebih baik.

by. Sudirman

Objek Wisata Rumoh Aceh di Gampong Jawa


Sengsara membawa nikmat, mungkin itulah kalimat yang cocok dengan yang dialami oleh masyarakat Gampong Jawa. Betapa tidak, setelah babak belur dihajar tsunami, kini kehidupan mulai bersemi lagi di sana. Adalah Muslim Aid, sebuah LSM dari Inggris yang punya ide membangun kembali daerah itu dengan kultur keacehan, berupa rumoh Aceh.

Fadullah Wilmot dari LSM Muslim Aid, yang punya ide membangun rumoh Aceh sebagai rumah bantuan untuk musibah tsunami di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Ide itu mendapat sambutan baik dari warga setempat, ide itu muncul setelah melihat satu keluarga selamat dari musibah tsunami. Keluarga itu menempati rumah Aceh dekat pantai dan selamat dari musibah.

Ide tersebut mendapat sambutan baik dari warga setempat yang memang menginginkan agar dibangun rumah panggung. Harapan itu karena desa tersebut terletak dekat bibir pantai dan apabila pasang naik, apalagi pasang purnama, air laut akan meluap ke perkampungan penduduk.

Gampong Jawa adalah salah satu nama desa di Aceh. Tidak hanya di Banda Aceh, tetapi juga di sejumlah kota lain, seperti Langsa dan Lhokseumawe. Di Banda Aceh, Gampong Jawa terletak di pinggir Krueng Aceh, yang membelah ibokota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Tidak banyak yang mengetahui mengapa desa itu diberi nama Gampong Jawa. Namun, sejumlah warga mengatakan, konon di tempat itu dahulu banyak menetap pendatang dari pulau Jawa, sehingga tempat itu diberinama Gampong Jawa. Para pendatang dari pulau Jawa itu bukan khusus datang untuk menetap di sana, tetapi mereka dalam perjalanan pulang dari Tanah Suci Mekah. Mereka yang pulang dari Tanah Suci tidak langsung pulang ke Jawa, tetapi mampir di sini. Malah ada yang menetap di sini untuk memperdalam ilmu agama, sehingga daerah ini diberi nama Gampong Jawa. Di daerah ini dahulunya tempat persinggahan kapal pengangkut jamaah haji.

Gampong Jawa berbatasan dengan Selat Melaka di sebelah utara. Di sebelah selatan terdapat Kelurahan Peulanggahan, sebelah barat berbatasan dengan Gampong Pande dan sebelah timur dengan Krueng Aceh. Desa ini memiliki luas 150,60 Ha, terdiri atas lima dusun ; Dusun Nyak Raden, Dusun Hamzah Yunus, Dusun Tuan Dibanda dan Dusun Tengku Muda.

Saat terjadi gempa bumi yang disusul tsunami 26 Desember 2004, Gampong Jawa termasuk daerah paling parah kehancurannya, bahkan nyaris terkubur. Lebih dari 90 persen rumah warga dan fasilitasnya hancur dihantam tsunami yang menerjang di pagi hari nan kelabu sehingga meninggalkan duka mendalam bagi penduduk setempat yang selamat.

Menjelang setahun musibah berlalu, meski perasaan warga yang selamat masih dibalut kesedihan dan kedukaan karena banyak anggota keluarga yang hilang. Tetapi mereka sedikit mulai bisa hidup normal mulai tampak.

Walau dari segi perekonomian masih kembang kempis, namun paling tidak sebagain mereka tidak lagi tinggal di bawah bayangan kecemasan. Ratusan rumoh Aceh berukuran sedang yang dibangun Muslim Aid. Kini rumah-rumah yang dibangun sesuai dengan keinginan pemiliknya terus dipacu pembangunan di antara sisa-sisa puing tsunami.

Rumoh Aceh dilihat dari segi strukturnya terdiri atas tiga bagian penting yang satu dengan lainnya berkaitan dalam satu sistem teknologi konstruksi yang diwarisi turun-temurun. Sistem teknologi tersebut menjadi bangunan rumah tampak kokoh dan anggun.

Bagian-bagian tersebut adalah : Bagian tiang, dalam pengertian yang lebih luas merupakan bagian rumah yang terdiri dari tiang (tameh), bara, kasau (gaseu), lhue, beulebah dan lain-lain, saling berkaitan dan berfungsi sebagai tempat melekatkan lantai, dinding dan atap. Bagian dinding, terdiri atas lantai, dinding, jendela, pintu, tolak angin dan lain-lain yang berfungsi untuk memperkokoh bangunan rumah. Selain itu bagian dinding juga berfungsi dekoratif yakni dinding, pintu, jendela dengan ragam rias seni ukir yang menarik sekaligus sebagai lambang status penghuni rumah. Bagian atap, yang melindungi rumah dan bagian-bagiannya dari panas dan hujan. Kalau dipandang dari sudut estetika bagian atap merupakan bagian yang menarik dari rumah dan yang paling jelas menunjukkan kekhasan kalau diamati dari jarak jauh.

Dengan dibangunnya rumoh Aceh di Gampong Jawa. Keinginan warga untuk memiliki rumah panggung terwujud. Malah tinggi antara satu rumah dengan yang lain tidak sama karena disesuaikan dengan keinginan pemilik rumah. Sebuah kebersamaan untuk bisa menata masa depan yang lebih cerah.

Sebuah inovasi yang diilhami kultur Aceh telah dihadirkan di daerah itu, yakni rumoh Aceh. Rumah seperti itu sudah sulit ditemukan di alam moderen seperti sekarang, kecuali satu dua peninggalan masa lalu di daerah pedalaman.

Dengan dibangunnya rumoh Aceh di daerah tersebut, menjadi bertambah koleksi rumoh Aceh, yang sekarang memang sudah jarang didapatkan. Tidak tertutup kemungkinan daerah tersebut dapat dikembangkan menjadi desa wisata yang berlatar belakang budaya Aceh.

by Sudirman, S.S.